“Kapitalisme adalah suatu pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi… kapitalisme berarah ke pemiskinan.” Kalimat itu disampaikan oleh Soekarno dalam pidato pembelaannya yang terkenal di hadapan pengadilan kolonial Belanda di Bandung pada 1930. Pikiran kritis dan cemerlang Soekarno muda terhadap kolonialisme dan kapitalisme ini kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul Indonesia Menggugat.
Pikiran dan gagasan Soekarno bertebaran dalam berbagai tulisan, yang kemudian dihimpun dalam bukunya yang mashur, Di Bawah Bendera Revolusi. Buku ini merefleksikan pencarian Soekarno akan ide keindonesiaan yang orisinal dengan menyusuri gagasan-gagasan besar dunia. Tidak heran bila ia begitu fasih mengutip Ernest Renan, Karl Marx, Karl Kautsky, hingga Jamaluddin al-Afghani. Hingga kemudian ia mengonstruksi gagasannya sendiri yang ia anggap cocok untuk bumi Indonesia.
Sebagaimana Bung Karno, sejak usia muda Hatta telah menuangkan pikiran-pikirannya di berbagai media massa. Di usia 21 tahun, ia menulis tentang posisi Indonesia di Tengah-tengah Revolusi Asia—bahwa revolusi yang berlangsung di Indonesia tak bisa dilepaskan dari pergolakan bangsa-bangsa Asia yang sedang berusaha membebaskan diri dari kolonialisme. Buku Alam Pikiran Yunani ditulis oleh Hatta saat ia dibuang oleh penguasa kolonial ke Banda Neira. Kumpulan Karangan I hingga IV menampung tulisannya yang bertebaran di berbagai media zaman kolonial maupun setelah kemerdekaan.
Buah pikirnya yang menggemparkan setelah kemerdekaan ialah manifesto Demokrasi Kitayang diterbitkan setelah ia mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada 1956. Hatta berusaha mengingatkan kembali penguasa dan masyarakat perihal bagaimana seharusnya demokrasi dipraktikkan dalam masyarakat kita. Tulis Hatta: “.. orang melupakan syarat-syarat untuk membangun demokrasi di dalam praktik.” Di saat yang sama ia bermaksud memberi kesempatan kepada Soekarno untuk mewujudkan gagasannya tentang masyarakat Indonesia.
Banyak perintis dan pendiri republik ini di luar kedua tokoh tersebut yang mewariskan buah pikir yang masih bisa dibaca hingga kini, seperti karya Sutan Sjahrir, dan niscaya masih relevan. Sebagai seorang sosialis, Sjahrir selalu mengumandangkan ide-ide tentang demokrasi yang bermartabat walaupun menurut para pengritiknya jalan tersebut begitu lambat.
Selain Pikiran dan Perjuangan dan Renungan Indonesia, Sjahrir menggemparkan dunia politik di seputar tahun 1945 lewat manifestornya Perdjoeangan Kita yang mengritik para pemuda yang tidak memiliki pendirian yang tegas. Ia juga mengecam partai politik yang plin-plan (bukankah kritik ini sangat relevan dengan situasi sekarang?). Ini barangkali karena Sjahrir bukanlah politikus seperti dalam pemahaman James Freeman Clarke (pemikir Amerika abad ke-19) yang mengatakan, “Seorang politikus memikirkan soal pemilu yang akan datang. Seorang negarawan memikirkan generasi yang akan datang.”
Tan Malaka adalah tokoh lain yang lebih banyak bergerak di belakang layar di masa revolusi. Sebagai orang yang tergolong produktif menuangkan pikirannya dalam tulisan, buah piker Tan Malaka dapat dibaca di berbagai bukunya. Madilog, yang ditulis oleh Tan Malaka dalam keadaan miskin di pinggiran kota Jakarta, mengajak kita untuk menata cara berpikir kita melalui pembahasan yang filosofis. Karya-karyanya yang lebih strategis dan praktis tertuang dalam Gerilya Politik dan Ekonomi, Massa Actie, maupun catatannya Dari Penjara ke Penjara.
Revolusi Indonesia, tulis Tan Malaka dalam Massa-Actie, memiliki dua tombak, yaitu mengusir imperialisme Barat dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Revolusi semacam itulah, bilamana berhasil dilaksanakan, yang akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politik, ekonomi, sosial dan bahkan mental.
Pada 1924, Tan Malaka—dalam usia 27 tahun—menerbitkan risalah Menuju Republik Indonesia yang memuat konsep tentang negara Indonesia yang sedang diperjuangkan. Karya ini mendahului pledoi Hatta di depan pengadilan Belanda di Den Haag, yakni Indonesia Merdeka (1928) maupun tulisan Soekarno, Menuju Indonesia Merdeka (1933). Lumrah saja, karena Tan Malaka lahir beberapa tahun lebih awal daripada Soekarno dan Hatta.
Banyak buah pikir para perintis negeri ini lainnya, seperti Tjokroaminoto, Yamin, Sjafruddin Prawinegara, Natsir, IJ Kasimo, dan masih banyak lagi yang masih relevan untuk dibaca kembali. Bukan hanya oleh rakyat, tetapi terutama oleh orang yang merasa dirinya mampu untuk memimpin negeri ini dan karena itu berlomba-lomba mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, hakim agung, hakim konstitusi, hingga presiden.
Sungguh tak pantas bila karya-karya mereka hanya menjadi pajangan di rak buku atau malah diperdagangkan sebagai buku antik. Pikiran dan kerja yang mereka tunjukkan adalah manifestasi semangat dan keikhlasan untuk memberikan yang terbaik bagi negeri ini, bukan untuk memajukan kepentingan pribadi dan golongan dalam konteks politik dan ekonomi, maupun untuk memperoleh keistimewaan di hadapan hukum. Dari buah pikir mereka, niscaya kita dapat menemukan kembali apa tujuan kita berbangsa dan kemana arah yang tepat bagi Indonesia modern. ***
sumber http://indonesiana.tempo.co/
Posting Komentar
Silahkan Copy Paste Artikel ini jika dianggap bermanfaat, tetapi dengan menyertakan Link Sumbernya (link hidup).