Rachmawati Soekarnoputri menyatakan Prabowo Subianto tak mesti disalahkan dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Atasan Prabowo lah, kata putri Soekarno itu, yang seharusnya bertanggung jawab.
“Saya mengerti betul. Prajurit tidak salah, yang salah komandan. Siapa komandan waktu itu? Wiranto,” kata Rachmawati di kediamannya di Jakarta Selatan, Minggu 22 Juni 2014, usai berbincang dengan Ketua dan Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Mahfud MD dan Fadli Zon.
Rachmawati berpendapat, pemaparan Wiranto masih belum objektif. Menurut dia, negarawan tak selayaknya mengumbar masa lalu.
“Itu kasus lama. Ketika Prabowo menjadi pasangan Megawati (pada Pilpres 2009), tak ada disinggung persoalan HAM,” ujar Rachmawati.
Lebih lanjut, Rachmawati menganggap kasus Prabowo merupakan buntut dari persoalan internal Angkatan Darat. “Dewan Kehormatan Perwira itu untuk Perwira Menengah, bukan untuk Perwira Tinggi. Jadi cacat hukum, inkonstitusional,” kata dia.
Rachmawati berharap siapa pun presiden yang terpilih nanti, tak saling mencari cacat di belakang. Sebab, ujarnya, apa yang terjadi sekarang merupakan sebab-akibat dari masa lalu.
Pernyataan Wiranto
Sebelumnya, mantan Panglima ABRI Wiranto yang bekas atasan Prabowo buka suara seputar bocornya dokumen keputusan Dewan Kehormatan Perwira tanggal 21 Agustus 1998 yang berisi rekomendasi pemberhentian Letnan Jenderal Prabowo Subianto dari TNI.
“Pemberhentian Prabowo sebagai Pangkostrad disebabkan adanya keterlibatan dia dalam penculikan saat menjabat Danjen Kopassus,” kata Wiranto. Perbuatan Prabowo itu, ujar Wiranto, melanggar Sapta Marga, Sumpah Prajurit, etika keprajuritan, dan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Dengan adanya fakta tersebut, istilah diberhentikan dengan hormat atau tidak sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Sejatinya masyarakat sudah dapat menilai. Saya tidak mau terjebak pada istilah karena perbedaan istilah tersebut sarat kepentingan politik,” kata Wiranto.
Meski demikian, Wiranto menjelaskan secara normatif apa yang dimaksud pemberhentian secara hormat atas seorang prajurit TNI. “Seorang prajurit diberhentikan dengan hormat apabila yang bersangkutan habis masa jabatannya, meninggal dunia, sakit parah, cacat akibat operasi militer, mengundurkan diri dari kedinasan dan disetujui atasan,” kata dia.
Sementara itu, pemberhentian dengan tidak hormat, ujar Wiranto, apabila prajurit tersebut melanggar Sapta Marga, melanggar Sumpah Prajurit, dan melanggar hukum, sehingga ia tidak pantas lagi menjadi seorang prajurit.
Namun, kubu Prabowo minta tudingan penculikan itu dibuktikan. “Itu kan operasi intelijen. Waktu itu keadaan genting. Maka boleh melakukan sesuatu, mengambil tindakan,” kata Direktur Operasi Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Edhy Prabowo.
Tim pemenangan Prabowo-Hatta juga menunjukkan salinan surat putusan pemberhentian Prabowo yang ditandatangani oleh Presiden B. J. Habibie tiga bulan setelah Dewan Kehormatan Perwira mengeluarkan rekomendasi pemberhentian Prabowo dari TNI.
“Kepada Bapak Prabowo, kami ucapkan terima kasih atas jasa-jasanya selama mengabdi di ABRI. Surat ini ditandatangani dan ditetapkan di Jakarta, 20 November 1998, oleh Presiden RI Bacharuddin Jusuf Habibie,” kata anggota tim pemenangan Prabowo-Hatta, Marwah Daud Ibrahim, membacakan salinan surat putusan tersebut.
Berdasarkan kalimat yang tertera di salinan surat itu, kubu Prabowo-Hatta yakin Prabowo diberhentikan secara hormat dari dinas kemiliteran. Terlebih, Menteri Sekretaris Negara Muladi saat itu mengirimkan surat kepada Komnas HAM yang menyatakan tidak terdapat cukup bukti yang membuat Prabowo bisa dinyatakan terlibat dalam kasus penculikan aktivis.
© VIVA.co.id
Posting Komentar
Silahkan Copy Paste Artikel ini jika dianggap bermanfaat, tetapi dengan menyertakan Link Sumbernya (link hidup).