Oleh Eros Djarot
Pemimpin Redaksi Tabloid DETAK
… saya secara pribadi cukup lama berpikir, percaya dan teryakinkan bahwa apa yang dilakukan Oom Cum bukanlah tindakan yang bersifat ingkar terhadap kebenaran. Sebaliknya, kesan bahwa yang -dilakukannya hanyalah suatu upaya mendudukkan kebenaran …
Menjadi besan orang yang sangat dan paling berkuasa di sebuah negara, ternyata tidak selalu menguntungkan. Apalagi ketika sang besan telah dalam posisi sebagai mantan orang paling berkuasa. Saat masih berkuasa, segan untuk berkata ‘tidak’ pada sang besan, dan pada saat kekuasaan lengser dari sang besan, yang menguat adalah perasaan ewuh pekewuh, sungkan dan Kondisi psikologis inilah yang paling tidak dirasakan oleh Profesor Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo dan mertua Titiek Soeharto.
Sebagai seorang teknokrat dan cendekiawan pengagum Andre Malraux dan Sartre, sejak putra satu-satunya yang berkarier sebagai militer menjadi sorotan publik sehubungan dengan kasus penculikan, agak sulit baginya bagaimana harus memposisikan diri agar masyarakat tetap memandangnya sebagai figur yang netral. Maklum, naluri seorang ayah terhadap penderitaan seorang anak tetap tak dapat mengesampingkan apa yang sering diucapkan oleh orang Jawa sebagai “tega larane, ora tega patine” (mungkin tega melihat sakitnya, tetapi tak mungkin tega melihat kematiannya). Itulah kira-kira yang membuat Oom Cum, panggilan akrab ayah Prabowo yang begawan ekonomi Indonesia ini, merasa terpanggil untuk angkat bicara, mengabarkan pada seluruh rakyat Indonesia bagaimana sesungguhnya wajah kekuasaan dan penguasa yang selama tiga puluh tahun hadir begitu mencekam dalam benak dan tulang sumsum rakyatnya.
Keberanian Oom Cum ini hendaknya dijadikan suatu langkah awal dari kemungkinan menegakkan kembali institusi moral yang sangat diperlukan oleh situasi seperti sekarang ini. Keberanian dan kejujurannya yang secara terbuka mengindikasikan keterlibatan Soeharto sehubungan kasus penculikan para aktivis, merupakan angin segar yang mungkin sangat membantu terbukanya pintu berkarat yang selama ini tertutup rapat karena digunakan sebagai pintu ruang penyimpan sejumlah misteri dan rahasia budaya kuasaan a la Soeharto selama ini.
Terlepas dari bobot akurasi yang terkandung di dalam setiap ungkapan dan pernyataannya sehubungan kasus siapa di balik peristiwa penculikan, satu hal yang perlu dicatat adalah peristiwa kebudayaan itu sendiri. Karena keterangan terbuka yang disampaikan dengan penuh cinta dan tanggung jawab terhadap anak, besan, manusia, dan rakyat negerinya, sungguh merupakan peristiwa kebudayaan yang perlu diabadikan dalam kaitan terobosan terhadap kebekuan dan kebisuan banyak tokoh dan pelaku sejarah…
‘Sedalam dan selama apa pun bangkai disembunyikan, suatu hari baunya akan tercium juga’. Begitu kata pepatah orang-orang tua kita dulu. Karenanya, bila apa yang dikatakan Oom Cum mengandung kebenaran yang hakiki, maka inilah salah satu bukti kebenaran dari nasihat para leluhur kita: hanya waktulah yang tak dapat ditaklukan oleh kebohongan. Kalau toh kebenaran dapat ditikam setiap saat, tapi ia tetap saja takkan pernah mati.
Bangkitnya kebenaran dari mati suri yang panjang biasanya selalu membawa dampak yang mengejutkan. Karena sebagai orang yang selama bertahun terkena sihir, pada saat tersadarkan biasanya menjadi sedikit tak percaya pada apa yang selama ini terjadi maupun kenyataan yang ada di depannya sejak ia dapat dengan segala kesadarannya melihat dunia nyata dalam kenyataan sesungguhnya. Begitu pula kita pun akan merasakan hal yang sama ketika mendengar berita tentang betapa seorang yang sangat berkuasa di negeri ini ternyata tak kuasa menguasai dirinya dalam banyak hal. Termasuk menguasai nafsu untuk terus berkuasa, walau untuk itu harus menempuh berbagai cara. Termasuk memangsa ‘anak’-nya sendiri.
Benarkah demikian kejadian sesungguhnya? Mencari kepastian jawaban ini, kembali kita dihadapkan pada keberanian untuk berada dalam kebenaran itu sendiri. Bila dalam mencari dan menegakkan kebenaran seseorang melakukannya dengan cara yang tidak benar, niscaya segalanya menjadi sia-sia. Oleh karenanya saya secara pribadi cukup lama berpikir, percaya dan teryakinkan bahwa apa yang dilakukan Oom Cum bukanlah tindakan yang bersifat ingkar terhadap kebenaran. Sebaliknya, kesan bahwa yang -dilakukannya hanyalah suatu upaya mendudukkan kebenaran, kian menguat ketika dengan penuh santun dan tanggung jawab yang jauh ke depan tercermin dari setiap ucapan dan pertimbangan sehubungan dengan langkah angkat bicara yang telah diputuskan Oom Cum secara mendalam.
Terlepas dari bobot akurasi yang terkandung di dalam setiap ungkapan dan pernyataannya sehubungan kasus siapa di balik peristiwa penculikan, satu hal yang perlu dicatat adalah peristiwa kebudayaan itu sendiri. Karena keterangan terbuka yang disampaikan dengan penuh cinta dan tanggung jawab terhadap anak, besan, manusia, dan rakyat negerinya, sungguh merupakan peristiwa kebudayaan yang perlu diabadikan dalam kaitan terobosan terhadap kebekuan dan kebisuan banyak tokoh dan pelaku sejarah terhadap upaya menyampaikan kebenaran.
Karenanya selama berpuluh tahun ini, perasaan kita sebagai rakyat seringkali terasa seperti dipermainkan oleh sementara tokoh pelaku sejarah yang memilih diam demi suatu ketidakjelasan. Bagaimana sebenarnya sejarah terjadinya Surat Perintah 11 Maret, sampai hari ini tetap dalam bingkai gelap sejarah bangsa ini. Begitu juga bagaimana persisnya peristiwa G-30-S bisa terjadi berikut sejumlah peristiwa di balik itu, sampai hari ini pun tetap menjadi teka-teki yang setiap tahun dimunculkan oleh para peneliti dan pengamat sebagai sajian ilmiah yang tetap berada dalam kerangka pencarian tiada henti.
Dengan tampilnya Oom Cum menyampaikan apa yang ia tahu dan pahami, kita patut berharap: semoga yang lain menjadi lebih terbuka dan berani berpihak pada kebenaran. Paling tidak kebenaran yang oleh nurani, integritas dan daya jangkau intelektual kita, dapat dibenarkan. Tanpa keberanian ini niscaya bangsa ini akan berputar di tempat sehingga pusing, letih dan kehilangan segala daya geraknya.
Selanjutnya kita hanya akan menjadi bangsa yang tenggelam dan ditenggelamkan oleh berbagai ketidakjelasan dan ketidakpastian. Siapakah kita?
*) Dimuat di Tabloid DETAK No. 09/I, 8-14 September 1998
Posting Komentar
Silahkan Copy Paste Artikel ini jika dianggap bermanfaat, tetapi dengan menyertakan Link Sumbernya (link hidup).