18 Mei 2014

Cerpen: Hujan dan Puisi

Hujan dan Puisi
Ketika dulu mereka masih remaja, Amaya bercerita tentang cantiknya gerimis dalam genggaman tangan para penyair. Tentang derai hujan yang lirih mempertautkan hati dan kerinduan sepasang kekasih yang berjauhan. Tentang deras hujan yang berbisik mesra pada dedaun. Tentang air hujan yang manja terbaring di dasar tanah dan yang lainnya berlari lincah menyusuri sungai, menuju lautan. “Rahim bumi dan laut yang luas akan menyimpan air hujan dengan baik, seperti halnya puisi yang menyimpan keindahannya…” Ucap Amaya.
Amaya masih ingat, ketika masih kecil, ia sangat mencintai hujan. Setiapkali hujan turun, Han, sahabat bermainnya, akan menari gemulai di bawah hujan, lalu membuatkan Amaya perahu kecil dari kertas dan daun-daun. Sementara Amaya hanya tertawa kecil di jendela rumahnya, kemudian meminta Han menyimpan perahunya di arus sungai.
“Han, naiklah ke pohon-pohon yang tinggi! Lihatlah kemana perginya air hujan! Lihatlah kemana perginya ia membawa perahu kita!” rengek manja Amaya ketika itu.
Han hanya tertawa dan berseloroh bahwa mereka akan melihat dengan leluasa kemana perginya air hujan dan perahunya setelah mereka menjadi dewasa, tumbuh besar dan tinggi melebihi pohon-pohon. Han berjalan tegap meniru langkah raksasa. Amaya tertawa kecil melihatnya.
Begitulah, dari kecil, mereka selalu bersama. Bertahun-tahun tumbuh besar bersama. Menjadi dewasa. Meskipun Amaya sangat mencintai hujan, tetapi Han selalu merasa ia lebih berhak dicintai Amaya. Sampai beberapa tahun kemudian, akhirnya merekapun menikah dan menempati sebuah rumah kontrakan yang sederhana, satu kilometer dari sebuah pabrik tempat Han bekerja.
Setelah menikah pun, Amaya masih mencintai hujan. Han mengerti. Di rumah kontrakan mereka, setiap sore ketika hujan turun, Amaya akan duduk di dekat jendela dan menulis puisi tentang gerimis. Setelah itu, ia akan menyerahkan puisinya dan meminta suaminya membuat perahu kecil dari kertas.
Setelah hujan usai, ia akan mengajak suaminya menuju sungai kecil, menyimpan perahu kecilnya, dan membiarkannya hanyut terbawa arus. Han berpikir, itu semacam ritual yang sepele, tetapi terkadang merasa hal-hal kecil itu membuat isterinya sangat bahagia. Maka ia tetap mengerti.
Tak pernah berubah. Bahkan kebiasaan itu semakin sering terjadi setelah istrinya mengidam anak pertama. “Buatkan lagi aku perahu-perahu kecil dari puisi-puisiku ini, Han. Aku ingin menyimpan sendiri di atas riak sungai.”
“Sayang, mungkin akan lebih baik jika puisi-puisi itu kau simpan saja di dinding kamar kecil kita ini. Jangan biarkan hanyut. Hilang. Ide puisi itu kan mahal.” Ucap Han ketika mereka terbaring menjelang tidur. Amaya hanya tertawa mendengarnya.
“Dari kecil, aku selalu ingin memanjat pohon-pohon, melihat kemana arahnya air hujan berlari membawa perahu kita. Aku selalu senang jika masih bermimpi tentang indahnya hujan yang menghampiri halaman rumah kita… dan kita menuju sungai, menghanyutkan perahu kecil kita…” ucap Amaya.
Begitulah. Hari-hari terus berjalan. Beberapa bulan kemudian, hadirlah anak yang tampan dalam kehidupan mereka. Satu hal yang sering Amaya ajarkan pada anaknya adalah: mencintai hujan! Jika musim hujan menghilang begitu panjang, ia akan memperkenalkan hujan pada anaknya lewat lukisan, gambar, foto, dan film. Setelah musim penghujan datang, ia dengan semangat akan mengajak anaknya duduk di dekat jendela. Mengajak ia mendengarkan suara hujan menabuh pohon-pohon. Mengajaknya menggambar hujan, menulisnya dan seterusnya. Han hanya tersenyum melihatnya.
***
Tak seperti biasanya, Amaya susah tidur malam itu. Entah kenapa jantungnya berdebar kencang. Di luar rumah, hujan terdengar riuh.
“Han, aku merasa kini sudah banyak berubah. Dulu, aku hanya tahu bahwa gununglah satu-satunya yang lebih tinggi berdiri dari pohon-pohon, kini ternyata sudah berdiri gedung-gedung yang lebih tinggi dari pohon-pohon. Akupun heran, kenapa akhir-akhir ini puisiku tak lagi mampu menyerap cantiknya gerimis. Cuaca sudah sulit terbaca. Aromanya berbau tak sedap, seperti bau asap. Sesekali seperti bau sampah busuk. Tak ada lagi warna yang cerah pada lengkungan pelangi. Kini hanya terlihat semacam warna yang agak gelap pada langit. Semacam bentangan jelaga. Entahlah. Aku khawatir…” Keluh Amaya.
“Sudahlah, jangan berpikir yang aneh-aneh. Mungkin kau terlalu lelah saja…”
“Han, aku sudah lama mengenali semuanya. Karena aku menulis puisi tentang hujan dan alam. Tahun ini, suara hujan sudah tak merdu lagi. Agak mengerikan. Berisik. Menakutkan. Oh iya, kini pohon-pohon dan rumput sudah begitu mudah kuhitung, tidak seperti dulu. Dengar, Han. Suara hujan seperti marah. Seperti membenci kita! Aku agak ragu apakah aku masih mencintai hujan? Ia telah berubah! Aku takut. Aku jadi ingin pulang ke kampung halaman, Han…”
“Hm, iya iya. Ah, aku tidur duluan ya. Besok mau kerja…”
“Dengarlah, Han…” Amaya bangkit dari tempat tidur. Bergegas menghampiri jendela. Angin kencang menyapu hujan. Meliuk-liuk. Bergemuruh. Suaranya pada daun, kaca jendela dan permukaan tanah lebih keras dari yang Amaya Pahami. Ia bergegas menutup gorden. Berjalan keluar kamar, menuju kamar anaknya. Si tampan kecil sudah tertidur pulas. Satu kecupan hangat Amaya berikan di pipi anaknya. Setelah ia mematikan lampu di kamar anaknya, ia bergegas masuk kembali ke kamarnya. Lama memeluk erat suaminya. Lelap. Di luar, hujan masih deras terdengar.
Menjelang subuh, langit mengirim ribuan rinai, tak terdengar lagi deras hujan. Yang terdengar hanyalah suara teriakan orang-orang di luar rumah. “Banjir! Banjir!” Amaya terbangun. Ia berteriak-teriak histeris melihat air kotor melimpah-ruah ke kamarnya. Menerobos jendela kamarnya. Meliuk-liuk tinggi. Menggenangi temat tidurnya. Suaminya terperanjat. “Ya Tuhan! Apa ini? Banjir! Amaya, di mana anak kita?!” Han bergegas turun dari tempat tidur, menerobos liukan air, bersusah-payah keluar kamar, menghampiri kamar anaknya. Di luar kamar, air lebih tinggi. Liukannya keras. Melihat itu, Amaya semakin menangis keras. Histeris.
Gelap belum habis. Dingin. Dari kaca jendela, lampu senter berkelebatan. Tim evakuasi mulai berdatangan. Perahu karet berputar-putar. Dari dalam rumah, Amaya dan suaminya berteriak minta pertolongan. Sekuat tenaga Han membuka pintu rumahnya. Gelombang air menyeret sampah ke dalam rumah, seperti lidah raksasa yang menjilat-jilat dinding dan apapun yang berada di dalam rumah. Tim evakuasi berusaha keras menyelamatkan mereka. Entah dari mana datangnya gelombang banjir itu. Terasa semakin membesar. Keras. Mengerikan.
Berjam-jam tim evakuasi menyelamatkan warga yang berhasil ditemukan. Evakuasi mengalami kesulitan, karena hari belum terang dan arus air cukup tinggi menutupi pintu-pintu rumah warga. Amaya tak henti-henti menangisi anaknya yang hilang. Sesekali tak sadarkan diri. Sesekali terbangun dan menangis keras. Depresi.
Beberapa hari kemudian, warga dan tim evakuasi menemukan korban-korban yang hilang. Anak Amaya dan Han akhirnya ditemukan. Tewas. Di halaman rumah mereka. Entahlah. Mungkin banjir menculiknya dari kamarnya. Amaya histeris. Lalu tak sadarkan diri.
***
Hening. Amaya masih tertidur di ranjang rumah sakit. Suaminya duduk di sampingnya, dengan wajah yang dipenuhi beban yang maha berat. Tatapannya kosong. Menatap letih kaca jendela.
             “Rumah kita tenggelam. Kota ini seperti akan tenggelam…” ucap Han lirih. Isak tangisnya yang berat mulai terdengar gemetar. “Kini kita sudah tumbuh besar dan berdiri lebih tinggi dari pohon-pohon. Ya, pohon-pohon yang sudah habis ditebang, berganti bentuk menjadi gedung-gedung tinggi. Kini aku mengerti kenapa hujan dalam puisimu tak lagi berlari manja ke dasar tanah dan lautan. Benar katamu, banyak hal yang sudah berubah.
Kini kau tak hanya menikmati hujan yang berlari lincah dalam mimpi-mimpiku lagi, tetapi air hujan dari sungai-sungai sudah berlari menerobos jendela rumah dan menghampiri kita di tempat tidur… dan menghanyutkan anak kita…” Han menangis. Pilu. Istrinya mulai sadar. Perlahan matanya terbuka.
            “Han, di mana anak kita?” tanya istrinya. Lemah. Gemetar. “Han! Kemana anak kita?! Han?!” Ia gemetar. Kalut. “Han! Cepat Han! Naiklah ke pohon-pohon yang tinggi, Han! Lihatlah kemana perginya air hujan! Lihatlah kemana perginya ia membawa anak kita!” Amaya meracau. Menangis histeris. Meronta-ronta. Suaminya mendekapnya dengan erat. Erat. Air matanya mengalir pelan, seperti merdunya suara hujan dalam kenangan. Bertahun-tahun yang lalu…
sumber http://manuskripkesunyian.wordpress.com/
Share this article now on :

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))

Silahkan Copy Paste Artikel ini jika dianggap bermanfaat, tetapi dengan menyertakan Link Sumbernya (link hidup).