Tubuh-tubuh kurus tak berdaya. Para wanita meronta. Jeritan semrawut di udara. Di atas mereka, senjata pasukan Jepang bersiaga. Melawan sedikit saja, peluru tajam menembus kulit mereka.
Mendadak, muncul sosok bersafari dan berpeci. Sedikit berlari ia berusaha melindungi. Memasang badan di antara tubuh kurus tak berdaya dan pelor senjata. “Jangan!” teriaknya.
Si pemegang senjata tetap pasang ancang-ancang. Namun berkat perintah suara berwibawa di belakangnya, moncong senjata diturunkan. Sosok bersafari itu, rupanya orang penting yang tak boleh disakiti.
Ialah Soekarno. Orang yang begitu dijunjung masyarakat, juga diperhitungkan penjajah. Jepang lihai memanfaatkan ketenarannya.
Dari penyelamatan kecil itu, si tubuh tak berdaya dan wanita yang tadinya meronta justru dengan ikhlas memberikan berasnya. Ancaman senjata tak lagi diperlukan.
Licik memang. Tapi Soekarno punya strategi lain yang tak kalah "licik". Ia menganggapnya bagian dari diplomasi. Alih-alih ingin menghamba pada Jepang, ia ingin merebut kemerdekaan dari Negeri Sakura itu.
Sayangnya, sekelumit adegan dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka itu menimbulkan kontroversi.
Rachmawati Soekarnoputri, anak kandung Soekarno protes. Menurutnya, membiarkan Soekarno ditodong pelor senjata telah merendahkan martabat Bapak Bangsa itu.
Belum lagi adegan soal pandangan Soekarno terhadap wanita. Ia juga tak setuju soal pemeran utama, Ario Bayu. Ia mengajukan somasi, namun tak indahkan. Produksi film tetap berjalan.
Rachmawati menghentikan kerja sama dengan Multivision Plus, rumah produksi film itu. Ia juga melaporkan Hanung Bramantyo, sutradara film ke Polda Metro Jaya atas pencemaran nama baik.
Hak cipta pun digugat. Ia melaporkan dengan acuan Pasal 72 (6) jo 72 (1) dan (2) UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Rachmawati juga menyurati Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Sutarman terkait pelanggaran hak cipta. Kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Rachmawati mengadukan hal yang sama.
Jumat, 13 Desember 2013 kuasa hukum rumah produksi mengaku sudah menerima surat penetapan sementara dari Pengadilan Niaga. Saat itu, Soekarno tengah tayang di bioskop.
Mereka diminta menghentikannya. Master film pun harus diserahkan.
Namun, pencabutan film hanya dilakukan jika menyangkut dua adegan: penamparan pipi Soekarno oleh polisi militer sampai terjatuh dan penodongan pipi dengan popor senjata.
“Kami diminta menghentikan tayang, tapi khusus adegan itu,” kata David Abraham, kuasa hukum Multivision Plus, pada VIVAlife. Masalahnya, dua adegan itu justru tidak ada dalam film.
Produser diperiksa
Namun, masalah tak selesai sampai di situ. Rabu, 19 Februari 2014, Raam Pundjabi, produser film itu dipanggil penyidik Polda Metro Jaya. Ia dimintai keterangan soal hak cipta dan produksi film seperti yang dilaporkan Rachmawati.
Pemeriksaannya memakan waktu begitu lama, 10 jam. Ia datang pukul 10.30 pagi dan pemeriksaan baru selesai pukul 10 malam, setelah dipotong istirahat. Produser asal India itu dicecar 47 pertanyaan.
“Kita masih mengumpulkan keterangan saksi. Nanti saksi ahli juga akan dimintai keterangan. Bisa dari badan sensor film, departemen hak cipta,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Rikwanto.
sumber http://life.viva.co.id/news/read/482827-ini-adegan-pencetus-sengketa-di-film--soekarno--indonesia-merdeka-
Posting Komentar
Silahkan Copy Paste Artikel ini jika dianggap bermanfaat, tetapi dengan menyertakan Link Sumbernya (link hidup).