26 Juli 2014

Cabe-cabean, Generasi Baru Gadis Gaul dan Seks Bebas?



Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang gemar memakan cabe. Kuliner jenis apa pun, terasa hambar tanpa yang pedas-pedas. Bukan saja restoran waralaba siap saji akan terasa aneh bila tidak menyediakan sambal, rumah makan yang spesial “membakar” lidah dengan aneka jenis sambal pun kian favorit dan menjamur.
Mengenai hal tersebut di atas, saya tidak dibuat terheran-heran. Namun, tiba-tiba saja saya merasa sangat telmi, jadul, dan jablay dalam memahami perbincangan tentang “Cabe-cabean” yang bukan cabe, yang sedang menyeruak ramai di media massa dan media sosial belakangan ini. Cabe-cabean sekonyong-konyong menjadi buah bibir dan menjadi tren.
Sejenak saya teringat pada buku pemasaran karya Rhenald Kasali, tempat saya pertama kali membaca tentang segmentasi berdasarkan generasi (cohort/kohor). Di sana diperkenalkan Kohor kemerdekaan (generasi yang lahir antara 1921-1933), kohor Tritura (1936-1950), kohor perang dingin (1951-1960), kohor komputer (1961-1970), dan kohor internet (setelah 1970). Kini tampaknya Rhenald Kasali perlu melanjutkan penelitiannya agar klasifikasinya tidak berhenti di kohor internet, sekaligus memberi jawaban atas pertanyaan banyak orang, setidaknya saya sendiri, mengenai generasi apakah Cabe-cabean ini.

Profil Tak Terduga
Saya lalu membaca banyak artikel mengenai topik ini, lalu menarik beberapa simpul yang menarik. Asal-usul istilah Cabe-cabean belum terlalu jelas rekam jejaknya, demikian pula dengan definisinya yang masih longgar sesuai dengan konteks tempat dan konteks kelompok. Namun, semuanya merujuk pada akronim Cabe dari “Cewek Alay Bisa Ehem“. Tiga kata pertama, terang-benderang kita ketahui artinya, namun kata terakhir membawa kita ke dunia ambigu.
Cabe-cabean adalah istilah yang disandangkan kepada gadis-gadis belia (ABG) usia SMP dan SMA yang terlibat dalam pergaulan malam terutama di seputar balapan liar jalanan. Kehadirannya selain menambah semarak balapan yang memicu adrenalin para cowok remaja, konon juga kerap dijadikan “bahan” taruhan. Ketika pertaruhan uang telah menjadi hal biasa, maka perlombaan demi mendapatkan “hadiah” yang ini, akan mendorong seseorang untuk menguji nyalinya. Dalam kasus ini, Cabe-cabean bukan saja sekadar menganut paham bebas bergaul, melainkan juga sampai pada tahap bebas di-”ehem”.
Cewek-cewek belia nan seksi ini memang beda bila dibandingkan remaja umumnya. Cabe-cabean ini memang tertarik dan suka berkerumun pada balapan liar. Ada pula yang bermotif mencari cowok jago balap dengan motor keren. Atau, sekadar mencari hiburan di malam hari di tempat-tempat mereka diterima dan dianggap dewasa.
Di manakah tempat-tempat favorit mereka? Tentu saja di pinggir jalan tempat balap liar malam hari kerap berlangsung atau tempat nongkrong anak-anak motor, serta bengkel-bengkel modifikasi motor. Bagaimana tampilan favorit mereka? Mudah ditandai dengan atribut baju seksi dan celana pendek. Aksi merokok sering kali menemani mereka menghabiskan malam yang panjang itu.
Bacaan lebih lanjut membawa saya pada rincian profil mereka secara lebih detail dan dalam cakupan lebih luas, sebagaimana disampaikan oleh Gofar Hilman. Saya meringkas ketiga kategori yang dimaksud tersebut sebagai berikut:
1. Cabe Ijo: Tipe kelas atas, biasanya dari SMA gaul di Jakarta. Sering nongkrong di tempat yang lagi hits. Dandanannya mentereng dan sangat ingin dipandang dewasa.
2. Cabe Merah: Kategori ini biasanya kongkow di klub yang ada di sekitar Kemang, Jakarta Selatan. Namun konon sebelumnya, mereka nongkrong dulu di swalayan.
3. Cabe Oranye: Ini tipe gadis jalanan. Biasanya nongkrong sambil menonton balapan liar. Ketika sore, senang sekali naik motor bonceng tiga, dan tidak pake helm. Biasanya sambil cekikikan, main HP, dan pakai behel.
Lebih lanjut, informasi dari seorang rapper muda bernama Young Lex, memberikan detail sepuluh ciri Cabe-cabean:
  1. Pakai behel untuk bergaya
  2. Malam Minggu pakai make-up
  3. Bonceng motor bertiga atau berempat
  4. Suka kebut-kebutan
  5. Segala sesuatu di-update dan pakai rok di atas perut
  6. Cabe sering kali teriak cabe
  7. Malam mingguan di pasar malam
  8. Pacaran di-fly over
  9. Enggak terima dengan keadaan
  10. Baju ketat, celana pendek, naik motor
Fenomena dan Tips untuk Orangtua dan Sekolah
Fenomena apa yang sedang terjadi pada gadis-gadis muda di ibu kota ini? Muhammad Rizal, psikolog dari Lembaga Terapan Psikologi UI mengatakan bahwa ini untuk menunjukkan bahwa mereka ada di sebuah kelompok. Semakin mereka menunjukkan keberadaannya, semakin mereka dianggap hebat. Namun demikian, dalam dugaan Rizal ini bukanlah hal baru. “Saya menduga ini fenomena lama yang sudah ada, tapi sekarang ditambah dengan nama Cabe-cabean.”
Sementara itu menurut Seto Mulyadi, Ketua Komisi Perlindungan Anak, para remaja ini melakukan tindakan kreatif yang keliru. Usia para ABG ini, masuk dalam fase perkembangan. Dalam fase ini, para remaja cenderung melakukan pencarian identitas dengan emosi yang meledak-ledak. Bahkan Kak Seto mensinyalir tidak hanya Cabe-cabean, fenomena arisan seks remaja, pelacuran dan tawuran juga terjadi karena energi mereka tidak tersalurkan secara positif.
Pola asuh orangtua yang permisif (longgar), turut menyuburkan fenomena ini. “Pengawasan orangtua yang longgar membuat anak semakin leluasa dalam bergaul. Kebebasan yang dimiliki oleh seorang anak pun sering berujung pada berbagai perilaku yang melanggar aturan dan norma-norma yang berlaku,” jelas tutur Aries Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA).
Untuk mencegah gadis-gadis remaja agar tidak terpengaruh dan larut dalam fenomena ini, bukanlah pekerjaan yang mudah. Semua tergantung pergaulan yang dipilih anak-anak dan norma yang diterapkan keluarga. Bagi Rizal, orangtua dan sekolah berperan besar dalam upaya pencegahan. Orangtua harus melakukan mengatur dan mengawasi anak-anaknya keluar malam, sementara sekolah harus tegas dengan aturan berpakaian siswi-siswinya.
Ya, sesederhana sekaligus seberat itu tugas orangtua dan sekolah. Namun, hal ini sudah selayaknya diperjuangkan karena terlalu besar risiko yang dipertaruhkan di kemudian hari. Fenomena ini jelas tak bisa dibiarkan. Dengarlah pengakuan seorang gadis ABG yang mengaku kerap menonton balapan liar di kawasan Kebon Nanas dan Banjir Kanal Timur (BKT), “Ya, abis bosen aja di rumah. Sekedar nyari refreshing,” ungkapnya. “Jarang diperhatiin aja sama orang di rumah. Kalau pulang jam berapa juga nggak ada pada khawatir.”

http://muda.kompasiana.com/
Share this article now on :

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))

Silahkan Copy Paste Artikel ini jika dianggap bermanfaat, tetapi dengan menyertakan Link Sumbernya (link hidup).