Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang gemar memakan
cabe. Kuliner jenis apa pun, terasa hambar tanpa yang pedas-pedas. Bukan saja
restoran waralaba siap saji akan terasa aneh bila tidak menyediakan sambal,
rumah makan yang spesial “membakar” lidah dengan aneka jenis sambal pun kian
favorit dan menjamur.
Mengenai hal tersebut di atas, saya tidak dibuat
terheran-heran. Namun, tiba-tiba saja saya merasa sangat telmi, jadul, dan
jablay dalam memahami perbincangan tentang “Cabe-cabean” yang bukan cabe, yang
sedang menyeruak ramai di media massa dan media sosial belakangan ini.
Cabe-cabean sekonyong-konyong menjadi buah bibir dan menjadi tren.
Sejenak saya teringat pada buku pemasaran karya Rhenald
Kasali, tempat saya pertama kali membaca tentang segmentasi berdasarkan
generasi (cohort/kohor). Di sana diperkenalkan Kohor kemerdekaan (generasi yang
lahir antara 1921-1933), kohor Tritura (1936-1950), kohor perang dingin
(1951-1960), kohor komputer (1961-1970), dan kohor internet (setelah 1970).
Kini tampaknya Rhenald Kasali perlu melanjutkan penelitiannya agar
klasifikasinya tidak berhenti di kohor internet, sekaligus memberi jawaban atas
pertanyaan banyak orang, setidaknya saya sendiri, mengenai generasi apakah
Cabe-cabean ini.
Profil Tak Terduga
Saya lalu membaca banyak artikel mengenai topik ini, lalu
menarik beberapa simpul yang menarik. Asal-usul istilah Cabe-cabean belum
terlalu jelas rekam jejaknya, demikian pula dengan definisinya yang masih
longgar sesuai dengan konteks tempat dan konteks kelompok. Namun, semuanya
merujuk pada akronim Cabe dari “Cewek Alay Bisa Ehem“. Tiga kata
pertama, terang-benderang kita ketahui artinya, namun kata terakhir membawa
kita ke dunia ambigu.
Cabe-cabean adalah istilah yang disandangkan kepada
gadis-gadis belia (ABG) usia SMP dan SMA yang terlibat dalam pergaulan malam
terutama di seputar balapan liar jalanan. Kehadirannya selain menambah semarak
balapan yang memicu adrenalin para cowok remaja, konon juga kerap dijadikan
“bahan” taruhan. Ketika pertaruhan uang telah menjadi hal biasa, maka
perlombaan demi mendapatkan “hadiah” yang ini, akan mendorong seseorang untuk
menguji nyalinya. Dalam kasus ini, Cabe-cabean bukan saja sekadar menganut
paham bebas bergaul, melainkan juga sampai pada tahap bebas di-”ehem”.
Cewek-cewek belia nan seksi ini memang beda bila
dibandingkan remaja umumnya. Cabe-cabean ini memang tertarik dan suka
berkerumun pada balapan liar. Ada pula yang bermotif mencari cowok jago balap
dengan motor keren. Atau, sekadar mencari hiburan di malam hari di
tempat-tempat mereka diterima dan dianggap dewasa.
Di manakah tempat-tempat favorit mereka? Tentu saja di
pinggir jalan tempat balap liar malam hari kerap berlangsung atau tempat
nongkrong anak-anak motor, serta bengkel-bengkel modifikasi motor. Bagaimana
tampilan favorit mereka? Mudah ditandai dengan atribut baju seksi dan celana
pendek. Aksi merokok sering kali menemani mereka menghabiskan malam yang
panjang itu.
Bacaan lebih lanjut membawa saya pada rincian profil mereka
secara lebih detail dan dalam cakupan lebih luas, sebagaimana disampaikan oleh
Gofar Hilman. Saya meringkas ketiga kategori yang dimaksud tersebut sebagai
berikut:
1. Cabe Ijo: Tipe kelas atas, biasanya dari SMA
gaul di Jakarta. Sering nongkrong di tempat yang lagi hits. Dandanannya
mentereng dan sangat ingin dipandang dewasa.
2. Cabe Merah: Kategori ini biasanya kongkow di
klub yang ada di sekitar Kemang, Jakarta Selatan. Namun konon sebelumnya,
mereka nongkrong dulu di swalayan.
3. Cabe Oranye: Ini tipe gadis jalanan. Biasanya
nongkrong sambil menonton balapan liar. Ketika sore, senang sekali naik motor
bonceng tiga, dan tidak pake helm. Biasanya sambil cekikikan, main HP, dan
pakai behel.
Lebih lanjut, informasi dari seorang rapper muda bernama
Young Lex, memberikan detail sepuluh ciri Cabe-cabean:
- Pakai behel untuk bergaya
- Malam Minggu pakai make-up
- Bonceng motor bertiga atau berempat
- Suka kebut-kebutan
- Segala sesuatu di-update dan pakai rok di atas perut
- Cabe sering kali teriak cabe
- Malam mingguan di pasar malam
- Pacaran di-fly over
- Enggak terima dengan keadaan
- Baju ketat, celana pendek, naik motor
Fenomena dan Tips untuk Orangtua dan Sekolah
Fenomena apa yang sedang terjadi pada gadis-gadis muda di
ibu kota ini? Muhammad Rizal, psikolog dari Lembaga Terapan Psikologi UI
mengatakan bahwa ini untuk menunjukkan bahwa mereka ada di sebuah kelompok.
Semakin mereka menunjukkan keberadaannya, semakin mereka dianggap hebat. Namun
demikian, dalam dugaan Rizal ini bukanlah hal baru. “Saya menduga ini fenomena
lama yang sudah ada, tapi sekarang ditambah dengan nama Cabe-cabean.”
Sementara itu menurut Seto Mulyadi, Ketua Komisi
Perlindungan Anak, para remaja ini melakukan tindakan kreatif yang keliru. Usia
para ABG ini, masuk dalam fase perkembangan. Dalam fase ini, para remaja
cenderung melakukan pencarian identitas dengan emosi yang meledak-ledak. Bahkan
Kak Seto mensinyalir tidak hanya Cabe-cabean, fenomena arisan seks remaja,
pelacuran dan tawuran juga terjadi karena energi mereka tidak tersalurkan
secara positif.
Pola asuh orangtua yang permisif (longgar), turut
menyuburkan fenomena ini. “Pengawasan orangtua yang longgar membuat anak
semakin leluasa dalam bergaul. Kebebasan yang dimiliki oleh seorang anak pun
sering berujung pada berbagai perilaku yang melanggar aturan dan norma-norma
yang berlaku,” jelas tutur Aries Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA).
Untuk mencegah gadis-gadis remaja agar tidak terpengaruh dan
larut dalam fenomena ini, bukanlah pekerjaan yang mudah. Semua tergantung
pergaulan yang dipilih anak-anak dan norma yang diterapkan keluarga. Bagi
Rizal, orangtua dan sekolah berperan besar dalam upaya pencegahan. Orangtua
harus melakukan mengatur dan mengawasi anak-anaknya keluar malam, sementara
sekolah harus tegas dengan aturan berpakaian siswi-siswinya.
Ya, sesederhana sekaligus seberat itu tugas orangtua dan
sekolah. Namun, hal ini sudah selayaknya diperjuangkan karena terlalu besar
risiko yang dipertaruhkan di kemudian hari. Fenomena ini jelas tak bisa
dibiarkan. Dengarlah pengakuan seorang gadis ABG yang mengaku kerap menonton
balapan liar di kawasan Kebon Nanas dan Banjir Kanal Timur (BKT), “Ya, abis
bosen aja di rumah. Sekedar nyari refreshing,” ungkapnya. “Jarang diperhatiin
aja sama orang di rumah. Kalau pulang jam berapa juga nggak ada pada khawatir.”
http://muda.kompasiana.com/
Posting Komentar
Silahkan Copy Paste Artikel ini jika dianggap bermanfaat, tetapi dengan menyertakan Link Sumbernya (link hidup).