2 Maret 2014

Pencarian Ras Manusia Ber-Ekor di Hutan Kalimantan


“Pada Minggu, 20 Juli 1879, saya memulai perjalanan dari Samarinda dengan dua perahu ke Tangaroeng [Tenggarong],” ungkap seorang lelaki muda di buku catatannya, “jaraknya sekitar 30 mil perjalanan lewat sungai.”


Lelaki itu adalah Carl Alfred Bock, naturalis dan pelancong kelahiran Kopenhagen, Denmark. Meskipun lahir di Denmark, Bock mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, Norwegia. Dia pernah melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan selama enam bulan. Ketika itu usianya masih 30 tahun.



Carl Alfred Bock, naturalis dan pelancong Norwegia kelahiran Kopenhagen, Denmark. Dia pernah melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1879. Sebelum berjejak di Kalimantan, dia telah menjelajah di pedalaman Sumatra pada 1878. Lukisan karya Hans Christian Olsen. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

Misinya di Kalimantan merupakan titah dari Gubernur Jenderal Johan van Lansberge untuk melaporkan keberadaan suku-suku Dayak dan menghimpun spesimen sejarah alam untuk beberapa museum di Belanda.


Hasil penjelajahannya di Samarinda-Tenggarong-Banjarmasin dan pedalaman Kalimantan, Bock menulis buku berjudul The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881, lengkap dengan 37 litografi dan ilustrasi.

Dalam bukunya yang sensasional itu dia berkisah tentang peradaban Dayak dan kanibalisme antar-suku.

“Bock memberi kita informasi yang padat tentang suku Dayak dari Kalimantan Selatan,” ungkap Alfred Russel Wallace, seorang naturalis dan penjelajah asal Inggris, beberapa bulan setelah buku itu terbit.

“Kesan umum dari deskripsinya yang didukung potret kehidupan menunjukkan adanya kesamaan nan indah antara semua suku di pulau besar ini, baik dalam karakteristik fisik dan mental,” demikian ungkap Wallace, “meskipun ada banyak spesialisasi dalam kebiasaan.”

Bock dalam catatannya telah berjumpa Dayak Long Wai, Dayak Long Wahou, Dayak Modang, Dayak Punan, “Orang Bukkit” dari Amontai, dan Dayak Tring.

Dia juga menuturkan upayanya dalam menyingkap kisah lama dari warga setempat tentang manusia berekor.

Seorang abdi kepercayaan dari Sultan Kutai A.M. Sulaiman bersaksi pernah menjumpai sosok itu dan menjulukinya dengan “Orang boentoet”.

“Saya berhasil menyelesaikan perjalanan ini, saya menjelajahi rute dari Tangaroeng ke Bandjermasin, sejauh 700 mil, melewati serangkaian bahaya dan kesukaran di suku Dayak,” ungkap Carl Bock.

Keingintahuan Carl Alfred Bock soal ‘rantai kerabat yang hilang’ itu nyaris membuat perseteruan dua kesultanan. Benarkah manusia berekor itu ada?

Pencarian Ras Manusia Berekor di Kalimantan

Sembari menikmati durian dalam jamuan makan malam di atas rakit, Carl Bock berbincang dengan Sultan Aji Muhammad Sulaiman dan kerabatnya tentang keberadaan ras manusia berekor. Konon, mereka menghuni permu****n Kesultanan Pasir dan tepian Sungai Teweh.

Percakapan itu membuat Bock berpikir tentang keberadaan “tautan kerabat yang hilang” yang disuarakan pendukung teori Darwin.

Tjiropon, seorang abdi kepercayaan Sultan, meyakinkan Bock di depan Sultan dan para Pangeran. Sang abdi itu beberapa tahun silam pernah menjumpai sosok manusia berekor di Pasir, dan menjulukinya dengan “Orang-boentoet”.



Menyeberang Sungai Benangan di pedalaman Kalimantan. Litografi oleh C.F. Kelley berdasar lukisan karya Carl Bock. Bock menjelajahi Kalimantan timur dan selatan, dari Kutai ke Banjarmasin. Tentang pengalamannya, dia menulis sebuah buku “The Head Hunters of Borneo” yang terbit pada 1881.


Sang abdi bahkan mampu melukiskan sosok manusia berekor dengan kata-kata. Kepala suku mereka, ujarnya, berpenampilan sangat luar biasa, berambut putih, dan bermata putih.


Mereka memiliki ekor sekitar lima hingga sepuluh sentimeter. Uniknya, mereka harus membuat lubang di lantai rumah untuk tempat ekor, sehingga mereka dapat duduk nyaman.



Sultan Kutai pun turut takjub dengan kisah abdinya. Dia pun memberangkatkan Tjiropon bersama sebuah surat yang memohon Sultan Pasir untuk mengirimkan sepasang manusia berekor.
Carl Alfred Bock-penjelajah-kalimantan-02



Sejatinya Bock sedikit ragu soal mitos manusia berekor di pedalaman Kalimantan.



Namun demikian, dia setuju untuk tetap berupaya mencari “tautan kerabat yang hilang” itu.



Bahkan, dia pernah menjanjikan kepada Tjiropon uang sejumlah 500 gulden apabila berhasil membawa sepasang manusia langka itu.



Beberapa hari berlalu tanpa kabar. Bock melanjutkan perjalanan dari Tenggarong ke Banjarmasin. Ketika Bock berada di kota itu, Tjiropon menjumpainya.



Wajah sang abdi itu kecewa sambil berkata bahwa dia telah menyampaikan surat itu kepada Sultan Pasir, namun tidak mampu membawa ras manusia berekor pesanan Bock.



Tjiropon pun memberikan penjelasan yang berbelit-belit. Akhirnya, Residen Banjarmasin pun bersedia membantu Bock. Dia mengirim surat kepada Sultan Pasir yang isinya menanyakan sekali lagi soal keberadaan manusia berekor di wilayahnya.



Hampir sebulan berlalu, surat balasan dari Sultan Pasir sampai juga ke tangan Residen Banjarmasin. Tampaknya ada salah paham: “Orang-boentoet Sultan di Pasir” adalah sebutan para pengawal pribadi Sultan Pasir.



Pantaslah Sultan Pasir marah besar hingga mengancam perlawanan terhadap Sultan Kutai dan mengusir Tjiropon.



Akibatnya, menurut Bock, mereka mendirikan kubu pertahanan dan bersiap berperang melawan Kesultanan Kutai. “Jika Sultan Kutai menginginkan Orang-boentoet saya,” ujar Sultan Pasir, “Biarkan dia ambil sendiri.”



Gambar ilustrasi


Meskipun demikian, Tjiropon tetap bersikukuh dengan pendiriannya bahwa manusia berekor itu nyata adanya. “Demi Allah saya pernah melihat Orang-bontoet beberapa waktu silam, dan berbicara kepada mereka , tetapi saya tidak bisa melihat mereka saat ini!”ungkapnya seperti yang dicatat Bock.


Carl Alfred Bock merupakan naturalis dan pelancong berkebangsaan Norwegia. Bock melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1879. Ketika itu usianya masih 30 tahun.



Misinya di Kalimantan merupakan titah dari Gubernur Jenderal Johan van Lansberge. Dia melaporkan kepada Gubernur tentang peradaban suku-suku Dayak. Tak hanya itu, dia juga menghimpun spesimen sejarah alam untuk beberapa museum di Belanda.





Sultan Aji Muhammad Sulaiman dan para pengiringnya di depan kedaton, Tenggarong. Sang Sultan bertakhta di Kesultanan Kutai pada periode 1850-1899. Pada 1879, Carl Bock, seorang naturalis dan penjelajah asal Norwegia, pernah berbincang dengannya tentang “Orang-boentoet”—manusia berekor yang diduga mendiami Kalimantan. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

Dari penjelajahannya di Samarinda-Tenggarong-Banjarmasin dan pedalaman Kalimantan, Bock menulis buku berjudul Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881.


Kisah lucu dan sungguh-sungguh terjadi dari pedalaman Kalimantan ini ternyata menarik perhatian Alfred Russel Wallace. Sang penjelajah sohor asal Inggris itu mengungkapkan, “Satu-satunya episode lucu dalam buku ini adalah upaya sungguh-sungguh untuk menemukan kisah ‘manusia berekor’ yang kerap dibicarakan di Kalimantan.”

Apakah ras manusia berekor itu benar-benar ada di hutan Kalimantan? Entahlah. Bock tak pernah tertarik lagi menyelisik sosok misterius itu. Dia pun menyebut peristiwa pencarian ras manusia berekor di Kalimantan sebagai “kekeliruan yang menggelikan”.

Sumber: indocropcircles.wordpress.com
Share this article now on :

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))

Silahkan Copy Paste Artikel ini jika dianggap bermanfaat, tetapi dengan menyertakan Link Sumbernya (link hidup).