21 Oktober 2013

NEGARA PERSONIFIKASI DAN KOOPTASI NEGARA ATAS RUANG PUBLIK

Negara Personifikasi dan Kooptasi Negara Atas Ruang Publik

Dalam sejarah Indonesia modern sudah tiga kali Indonesia mengalami  negara Person : Pertama, Pemerintahan di Era Demokrasi Terpimpin Sukarno (1959-1965), Kedua Pemerintahan Neo Fasisme Orde Baru (1968-1998) dan  saat ini Pemerintahan periode ke Dua SBY yang sedang menuju format  Negara Person.

Apa yang terjadi dalam Negara Person?

Negara Person memiliki gaungnya yang kuat pada era Louis XIV dimana  slogannya yang terkenal : “Negara Adalah Saya” disini Negara bukan lagi  sebagai bagian dari definisi-definisi Locke bahkan Marx sekalipun, tapi  Negara sudah menjadi alam kekuasaan pemimpinnya. Untuk mencermati  bagaimana pola negara person terbentuk di Indonesia dan apa  gejala-gejalanya serta akibatnya mari kita perhatikan satu per satu  dalam periode sejarah Indonesia modern.

Sukarno (1959-1965)

Alasan Sukarno mendirikan negara person adalah ketidaksabarannya melihat proses parlemen bertele-tele, masalah yang dihadapi memang bukan  masalah running well sebuah negara tapi masalah pondasi-pondasi negara.  Undang-Undang Dasar yang merupakan Konstitusi pada bangunan negara  paling penting menjadi taruhannya. Disini Sukarno melihat tidak akan ada titik temu antara kelompok Islam dan Kelompok Sekuler (Nasionalis,  Sosialisme Demokrat, Komunis dan Feodal Jawa). Selain masalah itu adalah kemampuan Sukarno melihat keterdesakan posisi geopolitik Indonesia  dalam percaturan dunia Internasional.
Banyak dari kalangan ahli sejarah politik melihat bahwa perkembangan  Negara Person adalah respon atas dinamika politik dalam negeri dan  berkembangnya PKI diluar batas radar Sukarno. Namun yang perlu  diperhatikan apa yang terjadi antara tahun 1955-1959 pada kerja politik  Sukarno merupakan sebuah usaha sungguh-sungguh membentuk Negara Person.  Pada saat itu perkembangan politik Internasional menuju ke arah  pembenaran tesis Churchill tentang berkembangnya dua imperialisme :  Barat di satu sisi dan Sovjet Uni disisi yang lain. Sukarno sesungguhnya sudah melihat ini sejak tahun 1946. Selama satu tahun penuh sepanjang  tahun 1945 Sukarno masih mempercayai faktor Jepang sebagai penentu  kekuatan di Pasifik dan masih mempercayai bahwa kekuatan militer Jepang  adalah andalan paling penting bagi terbentuknya negara Asia Timur Raya.  Namun perkembangan sejarah begitu cepat, hegemoni Jepang sudah luntur.  Amerika Serikat menguasai Asia Pasifik dengan gerakan cepat sementara  Sovjet Uni memilih menguasai daratan ketimbang kekuatan laut, inilah  kenapa Sukarno lebih memilih memihak Hatta yang condong mengambil  keuntungan dari deal-deal dengan Amerika dan Belanda daripada kepada  Muso yang membawa ide Negara Stalin ke Indonesia. Deal tersebut memberi  kesempatan kepada pemain-pemain lama politik dalam lingkaran kanan  menguasai ruang politik di Indonesia dan kekuatan kanan bahkan semakin  kuat dan menuju ke tangan besi untuk menghabisi kelompok kiri, tangan  besi kekuatan ini ditunjukkan pada konspirasi MSA 1951 yang melibatkan  Achmad Soebardjo menteri luar negeri dibawah Perdana Menteri Sukiman  Wirjosandjojo. Setelah penyerangan Natsir pada internal Masjumi dan  kejatuhan Sukiman dan jatuh bangun pemerintah karena ketidakstabilan  suara di Parlemen, Sukarno melihat bahwa kekuatan kanan semakin menjadi  hegemoni untuk itu Sukarno mulai merancang kabinet yang bersih dari  unsur politik dengan nama Zaken Kabinet (Kabinet Kerja) dibawah Djuanda. Sementara Angkatan Darat belum bisa dimasukkan unsur penting dalam  percaturan politik. Masuknya Angkatan Darat dan tidak padamnya keinginan Sukarno membentuk Partai Tunggal Negara yang sudah diidam-idamkannya  sejak lama membuat ia harus bermain secara intens dalam membina Angkatan Darat sehingga militer bisa menjadi pemain politik yang diperhitungkan. Kooptasi Sukarno ke Angkatan Darat setelah 17 Oktober 1952 yang justru  melejitkan nama AH Nasution adalah langkah paling penting dalam  membentuk Negara Person.
Revitalisasi PKI ditangan empat serangkai dibawah DN Aidit, MH Lukman,  Njoto dan Sudisman dilihat Sukarno sebagai kesempatan politik untuk  dijadikan kartu dalam permainannya dengan Amerika Serikat dan Sovjet  Uni. Bila Jacques Leclerc dalam analisanya dalam melihat kehancuran PKI  di bulan-bulan pembantaian Oktober-November 1965 sebagai “Raksasa  Berkaki Lempung” ini adalah sebuah isyarat bahwa memang pembentukan PKI  sama sekali tidak didasarkan pada syarat-syarat berdirinya Partai  Komunis arus besar seperti yang dikehendaki dalam teori-teori Lenin dan  implementasi Stalin, tapi lebih pada kehendak sebuah tempat tampungan  massa radikal pendukung Sukarno.
Kooptasi Sukarno pada Angkatan Darat dan memecah struktur elite Angkatan Darat -seperti penghadapan Yani dengan Nasution, atau Yani dengan Gatot Subroto - serta kooptasi ide-ide Revolusioner Sukarno kepada PKI yang  cepat membesar itu merupakan rangkaian Kooptasi yang kelak memakan  dirinya sendiri. Sukarno bukan saja termakan oleh Revolusi ciptaannya  tapi juga tidak mampu mengendalikan kekuatan-kekuatan yang dibangunnya.
Peristiwa Gerakan Untung dan Sjam di tahun 1965 yang berakibat  terbunuhnya para Jenderal dari jajaran SUAD Angkatan Darat membuat  Sukarno benar-benar dibungkam oleh kekuatan yang dilahirkannya. Ini  berbeda misalnya ketika Sukarno masih bermain dalam wilayah luar  kekuasaan dimana kerja politik Sukarno hanya menjadi makelaar politik  atau Kepala Agen politik dimana pelaku-pelaku yang dimakelari bisa  dikendalikan : Hatta, Sutan Sjahrir, Amir Sjafrudin, Tan Malaka , Muso  dan Natsir. Namun ketika Sukarno ingin menjadi pemain tunggal dan  melakukan tindakan-tindakan kooptasi maka serta merta dia gagal  mengendalikan bawahannya. Sikapnya yang terburu-buru mengeluarkan rumor  tentang Angkatan Ke V, meremehkan kekuatan Angkatan Darat dalam  penyerbuan Malaysia dan terlalu menciptakan banyak musuh membuat ia  harus menjadi anak kandung korban revolusinya sendiri. Sementara keadaan luar negeri tidak begitu menguntungkan dalam permainan kartu politik  Sukarno, Kruschev (Mr.K) terang-terangan menyerang kubu Stalin dan  melakukan Destalinisasi sementara Mao yang banyak terbantu oleh Stalin  merasa bahwa Mr. K merupakan revisionis Komunis yang wajib dimusuhi.  Disini kekuatan kartu di samping kiri Sukarno melemah, sementara di sisi kanan Sukarno semakin solid. Keputusan Presiden Kennedy membela  Indonesia dalam merebut Irian Barat dipandang bukan merupakan  pengkhianatan AS terhadap sekutu Eropa-nya tapi merupakan jalan  mendekati Sukarno agar bisa memiliki basis pengaruh di kawasan timur  Indonesia dengan memiliki akses terhadap konsesi-konsesi sumber daya  minyak serta menjinakkan Sukarno yang menyerang Pangkalan Militer Asing  di Asia Tenggara. Kartu Sukarno yang tidak imbang ini di luar negeri ini kemudian menjadi kontradiksi atas berkembangnya politik dalam negeri  sehingga semakin menjauhkan permainan kartu Sukarno pada kemenangan.  Keputusan gegabah Aidit yang melakukan tindakan politik agraria dan  secara frontal melawan tuan-tuan tanah NU serta serangan Aidit yang tak  tanggung-tanggung kepada Yani membuat Angkatan Darat membangun aliansi  diam-diam kepada kalangan Islam untuk menunggu saat yang tepat membuat  perhitungan pada PKI. Dan ada faktor lain lagi yang memberi arah  kehancuran jalan PKI-Aidit yaitu lupa bahwa tujuan utama PKI adalah  melaksanakan ide-ide revolusi Sukarno, namun setelah jaringan Peking  berhasil menyingkirkan jaringan Moskow di tubuh internal Partai, para  elite agak melupakan Sukarno hanya Njoto yang berkeras bahwa Peking  bukan merupakan prioritas tapi di tahun 1964 kekuatan Njoto bisa  dikatakan habis. Faksi Aidit menguasai keadaan internal Partai dan  Peking menjadi kiblat.
Gerakan aneh dan konyol Untung-Sjam 1965 dengan cepat ditanggapi oleh  Angkatan Darat. Suharto yang muncul tiba-tiba menjadi kartu As dalam  kekalahan politik kartu Sukarno. Dengan kesimpulan yang sangat sederhana dan bisa dijadikan perdebatan sejarah puluhan tahun, ucapan Suharto :  PKI berada di balik Gerakan Untung, dengan cepat menghancurkan semua  kerja politik Sukarno yang dimulainya sejak tahun 1926.
Negara Person kedua, diciptakan Jenderal Suharto diatas puing-puing  Sukarno. Suharto memiliki beberapa modal politik yang sama sekali tidak  dimiliki Sukarno :
  1. Tidak direpotkan oleh Geopolitik karena sikap Suharto jelas anti  Komunisme. Sovjet Uni sedang berkomitmen tidak mengganggu Indonesia  karena tidak ingin memancing permusuhan dengan Mao. Sementara Mao  disibukkan oleh penyerangan dirinya atas bencana kelaparan dimana  Presiden Liu Sao Chi menyerang Mao. Revolusi Kebudayaan Cina 1966 adalah bagian dari garis keberuntungan Suharto. Mao disibukkan membantai  teman-temannya sendiri dengan bantuan Lin Piao. Otomatis Indonesia  bukanlah prioritas dan kematian Aidit hanya cukup dikompensasi dengan  sebuah puisi karya Mao.
  2. Histeria Pembunuhan Jenderal dan Pola politik Stigma PKI membuat  Suharto dengan langkah luar biasa tepat bermain. Kooptasi-nya dalam  mengendalikan ruang publik pers sampai membangun seluruh struktur  kekuasaan level bawah dengan alasan stigma PKI membuat dirinya  benar-benar menikmati posisi menjadi Raja Jawa dalam arti sebenarnya.
  3. Tindakan pembenaran atas Tiga B (Bui, Buang dan Bunuh) dimana  masyarakat Internasional juga melakukan kejahatan dengan mendiamkan apa  yang terjadi di Indonesia merupakan keuntungan Suharto dalam memainkan  politik kekerasan dalam mencaplok masyarakat.
Mari kita lihat apa yang dilakukan Suharto dalam melakukan politik  kooptasi. Guru politik terbesar Suharto adalah Sukarno. Disini benang  merahnya. Hanya saja alasannya yang membuat guru dan murid itu berbeda : Sukarno berusaha mewujudkan daulat kapital sementara Suharto  Menggandaikan Negara sebagai bentuk jaminan hutang baik hutang jangka  pendek ataupun jangka panjang. Langkah yang dilakukan Suharto setelah  berhasil menghabisi Sukarno adalah menciptakan lansekap politik seluruh  kekuatan politik diarahkan menuju partai negara, awalnya Suharto  menghendaki PNI yang maju namun gagasan ini ditolak Ali Murtopo dan Ali  mengusulkan agar Golkar dijadikan kendaraan menuju konsepsi Partai  Tunggal yang terkamuflase. Bila Sukarno ingin mewujudkan Negara Kuat,  Rakyat Kuat maka Suharto mewujudkan Negara Kuat, Rakyat Lemah. Sukarno  menciptakan massa radikal, Suharto menciptakan massa mengambang. Negara  bukan saja menjadikan ruang-ruang diluar negara terkooptasi tapi negara  mencaploknya. Disini Suharto mendefinisikan diri justru dari rezim  komunisme yang dikatakan dibencinya tapi pembentukan Negara Model Orde  Baru justru mengikuti jalan negara Komunisme : Pemberangusan Ruang  Publik dan Penciptaan Kelas Baru yang menindas. Jelas Angkatan Darat  menjadi kelas paling berperan dalam penindasan terhadap rakyat di  masa-masa Orde Baru. Dan agen penindas ini sama saja dengan kelas baru  agen revolusi profesional Komunisme yang banyak tumbuh di negara-negara  penganut agenda Komintern.
Langkah Suharto dalam mengkooptasi negara atau lebih tepatnya mencaplok  masyarakat atas kekuatan negara merupakan contoh bagaimana Ruang Publik  terjajah oleh kekuasaan :
  1. Revitalisasi Surat Ijin Pembentukan Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang bibit penindasan pers sudah dilakukan Angkatan Darat sejak jaman  Sukarno.
  2. Membangun perusahaan-perusahaan negara yang kemudian menjadi sumber dana penting ke akses kekuasaan.
  3. Fusi partai Politik 1973 : Penghancuran Ideologi dan pembentukan Massa mengambang.
  4. Seluruh unsur-unsur kekuatan ekonomi dibawah kendali keluarga dan kroni.
  5. Penindasan unsur-unsur koreksi terhadap Negara : Mahasiswa, Elite Veteran (Korban Petisi 50), dan kekuatan lain.
  6. Pemandulan komisi-komisi penting yang bisa dianggap sebagai suara aspirasi rakyat dalam pembenahan pengawasan publik.
Bila Sukarno mengkooptasi dua hal : Angkatan Darat dan PKI yang kemudian kedua kekuatan ini bertarung menjadi kekuatan politik di satu sisi dan  kekuatan rakyat serta budaya disisi lain. Maka Suharto mencaplok  Angkatan Darat bukan saja menjadi kekuatan politik semata tapi menjadi  kekuatan yang menentukan takdir bangsa Indonesia. Dari Angkatan Darat  inilah kemudian lahir berbagai macam bangunan politik dengan landasan  kekerasan. Bisnis-bisnis baik dalam lingkup negara dan swasta diharuskan menjadi sponsor bagi kekuasaan. Kaum Intelektual dipaksa menjadi  pelacur dan menghamba pada modal, ideologis dihabisi serta dibangkitkan  fungsi-fungsi dangkal dalam menciptakan masyarakat berbasis  konsumerisme. Masyarakat konsumerisme bukanlah jenis masyarakat yang  memiliki kekuatan intelektual tajam, terdidik daya kritisnya, visioner  dan menghargai segala bentuk rasionalitas. Masyarakat konsumerisme tidak bisa diharapkan menjadi faktor pendorong terciptannya negara ke  arah-arah baik tapi memerosokkan ruang gerakan masyarakat. Kesenian  dijadikan alat pop yang mendewakan materialitas dan ide-ide yang tidak  laku dalam bahasa budaya pop menjadi bahan ketawaan. Pendek kata  Pencaplokan Negara Orde Baru kepada seluruh unsur negara ini melahirkan  kebudayaan dangkal.
Tapi seperti yang terjadi pada Sukarno, nasib Suharto sama persis. Ia  tidak mampu mengendalikan kekuatan-kekuatan yang diciptakannya. Sejak  munculnya Petisi 50 dan kecewanya LB Moerdani, Angkatan Darat bukan lagi senjata yang paling tajam pada diri Suharto. Melihat kondisi yang tidak menguntungkan Suharto mengeluarkan dua kartu lama untuk menghadapi  kekuatan-kekuatan Angkatan Darat yang kemudian justru menjadi bumerang : Islam dan Nasionalisme Emosi Sukarno. Awalnya munculnya drs. Suryadi  yang merupakan orang dekat LB Moerdani diharapkan mampu menggembosi  kekuatan radikal Islam sisa-sisa ciptaan Ali Moertopo yang semakin kuat  setelah ekspor revolusi Iran dengan mengeluarkan basis massa Sukarno ke  jalan-jalan, Suharto dapat dengan tenang menggembosi Islam. Namun basis  massa ciptaan Suryadi meledak luar biasa. Foto Sukarno yang diusung  anak-anak muda 1986 menjadi modal politik untuk melawan Suharto.  Kekuatan itu terbukti meroketnya suara PDI ditengah Pemilu yang  dikendalikan Orde Baru di tahun 1986 dan 1992. Disini Suharto mulai  kehilangan kendali atas fusi 1973 yang diciptakannya dan menjadi semakin kehilangan kecerdasan politiknya ketika melakukan penyerangan vulgar di tahun 1996 atas markas PDI di jalan Diponegoro. Selain itu Suharto juga mendekati kelompok Islam melalui ICMI untuk mengimbangi Kekuatan  Angkatan Darat dan Kekuatan Nasionalis Emosi Sukarno. Sejak Suharto  bermain kartu ini maka kehancuran kerja politiknya sudah mendekat.
Sejarah jatuhnya Suharto memperlihatkan pengulangan apa yang terjadi pada diri Sukarno, terjadi pada diri Suharto :
  1. Sukarno dikhianati PNI, dalam hal ini kubu Osa-Usep, sementara Suharto jelas dipermalukan oleh Harmoko lewat pernyataannya yang menghendaki  Suharto mundur. Jelas Golkar dan Harmoko adalah anak kandung politik  Suharto.
  2. Baik Sukarno dan Suharto dijauhi Angkatan Darat pada saat-saat kondisi kritis, bahkan Angkatan Darat menjadi kekuatan penting dalam politik  penjatuhan kedua Presiden itu.
  3. Kedua Presiden itu sama sekali tidak mendapatkan dukungan riil dari  kekuatan rakyat ketika dijatuhkan. Kejatuhan Sukarno seberapapun  dashyatnya kekuatan militer mustinya mendapatkan penolakan penuh rakyat  mengingat Sukarno sangat mengakar dalam alam pikiran bangsa Indonesia  tapi itu sama sekali tak didapatkannya. Penghormatan rakyat yang dengan  berani turun ke jalan hanya didapatkan pada saat kematiannya pada 21  Juni 1970.
Ketika Negara Person menjadi kekuatan penting politik dan masuk ke dalam ruang publik maka dengan sendirinya Negara Person itu akan runtuh. Apa  yang sesungguhnya terjadi? Apakah ini akan terjadi pada diri SBY?
Kemenangan Partai Demokrat yang begitu fantatis, kemampuan SBY dalam  melakukan tindakan politik paling jenius dalam mengebiri Golkar dan  menjadikan Golkar mendekati kebangkrutannya serta menjadi PDIP hanya  satu-satunya rivaal politik yang lemah adalah kemampuan SBY melakukan  kooptasi Negara terhadap seluruh ruang kekuasaan dan ruang rakyat dengan cara yang demokratis. Tapi apakah ini kemudian menjadikan SBY menjadi  pahlawan atas kestabilan politik?
Seperti yang saya uraikan diatas, Negara Person bagaimanapun tujuan  baiknya seperti Sukarno yang ingin merevitalisasi semangat kedaulatan  negara apalagi keblinger macam Suharto akan menemukan  kontradiksi-kontradiksinya. Titik temu kontradiksi inilah yang kemudian  menjadi hantu penghancur bagi penguasa yang ingin mencobai negara ke  dalam Negara Person. Apa yang dilakukan SBY dalam kemenangan strateginya atas Pemilu 2009 serta kemampuannya membangkrutkan lawan-lawan  politiknya pasti diikuti dengan langkah cepat dalam menguasai  ruang-ruang kekuasaan diluar eksekutif. Koalisi di Parlemen sudah  terpegang, Pemandulan KPK lewat kisruh unsur pemimpinnya, lumpur Lapindo yang tak jelas, Perampokan atas Bank Century yang melibatkan  orang-orang terdekat Presiden dan kinerja KPU yang buruk adalah bagian  penting kita mencatat kinerja SBY, karena gagalnya SBY dalam  menyelesaikan itu karena tidak bekerjanya fungsi-fungsi independen  diluar negara maka diragukan akan efektifnya fungsi negara dan fungsi  rakyat dalam bertemu di ruang publik. Bila ini sampai terjadi maka SBY  akan dimakan oleh rekayasa politiknya sendiri.

sumber http://www.kluget.com/
Share this article now on :

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))

Silahkan Copy Paste Artikel ini jika dianggap bermanfaat, tetapi dengan menyertakan Link Sumbernya (link hidup).